Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts Today

KOMPAS.COM - Not Found

Written By Unknown on Kamis, 14 November 2013 | 09.18

Harian Kompas  |  Kompas TV

Kamis, 14 November 2013

Ikuti Tur | Register

Get Personalized Here!

 |  Sign In
  • Channel
  • Channel
  • News
  • Ekonomi
  • Bola
  • Tekno
  • Entertainment
  • Otomotif
  • Health
  • Female
  • Travel
  • Properti
  • Foto
  • Video
  • Forum
  • Kompasiana
KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini
Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com

Go

  • News
  • Nasional
  • Regional
  • Megapolitan
  • Internasional
  • Olah Raga
  • Sains
  • Edukasi
  • Infografis
  • Surat Pembaca
  • Ekonomi
  • Bola
  • Tekno
  • Entertainment
  • Otomotif
  • Health
  • Female
  • Travel
  • Properti
  • Foto
  • Video
  • Forum
  • Grazera
  • Kompasiana
  • KompasKarier.com
  • Midazz
  • SCOOP
  • Urbanesia
  • MakeMac
  • About Us
  • -
  • Advertise
  • -
  • Policy
  • -
  • Pedoman Media Siber
  • -
  • Career
  • -
  • Contact Us
  • -
  • RSS
  • -
  • Site Map
©2008 - 2013 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

09.18 | 0 komentar | Read More

KOMPAS.COM - Not Found

Written By Unknown on Rabu, 13 November 2013 | 09.18

Harian Kompas  |  Kompas TV

Rabu, 13 November 2013

Ikuti Tur | Register

Get Personalized Here!

 |  Sign In
  • Channel
  • Channel
  • News
  • Ekonomi
  • Bola
  • Tekno
  • Entertainment
  • Otomotif
  • Health
  • Female
  • Travel
  • Properti
  • Foto
  • Video
  • Forum
  • Kompasiana
KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini
Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com

Go

  • News
  • Nasional
  • Regional
  • Megapolitan
  • Internasional
  • Olah Raga
  • Sains
  • Edukasi
  • Infografis
  • Surat Pembaca
  • Ekonomi
  • Bola
  • Tekno
  • Entertainment
  • Otomotif
  • Health
  • Female
  • Travel
  • Properti
  • Foto
  • Video
  • Forum
  • Grazera
  • Kompasiana
  • KompasKarier.com
  • Midazz
  • SCOOP
  • Urbanesia
  • MakeMac
  • About Us
  • -
  • Advertise
  • -
  • Policy
  • -
  • Pedoman Media Siber
  • -
  • Career
  • -
  • Contact Us
  • -
  • RSS
  • -
  • Site Map
©2008 - 2013 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

09.18 | 0 komentar | Read More

Berang-berang, \"Bertampang\" Lucu, tetapi Kejam secara Seksual

Written By Unknown on Jumat, 01 November 2013 | 09.18


KOMPAS.com
 — Berang-berang laut (Enhydra lutris) kadang dianggap sebagai fauna yang mampu menunjukkan kemesraan, berpegangan erat dengan pasangannya kala tidur agar tak terpisah.

Namun, di sisi lain, berang-berang laut juga hewan yang kejam, tega memerkosa bayi anjing laut sampai mati.

I Fucking Love Science, Selasa (22/10/2013), mengungkap, saat makanan terbatas, berang-berang laut jantan akan menyandera bayi anjing laut hingga induknya memberi makan kepadanya.

Berang-berang laut jantan juga akan mengunci bayi anjing laut, menungganginya seolah-olah sedang mengawini betina dewasa.

Yang juga sangat menyedihkan, bagian dari proses perkawinan itu adalah menenggelamkan kepala ke dalam air, yang akan menewaskan bayi-bayi anjing laut.

Selama lebih dari satu setengah jam, berang-berang laut jantan akan menenggelamkan kepala bayi anjing laut, memerkosanya hingga mati.

Kadang, walaupun bayi anjing laut telah mati, berang-berang laut kadang masih akan tetap mengawininya hingga tujuh hari setelahnya.

Fenomena berang-berang laut yang memerkosa bayi anjing laut pernah dilaporkan oleh Heather Harris dari California Department of Fish and Game di jurnal Aquatic Mammals.

Harris mengungkapkan bahwa perilaku berang-berang laut jantan saat memerkosa bayi anjing laut sama dengan perilaku ketika mengawini betina spesies sendiri.

Berang-berang jantan akan mulai menggigit betina sebelum mengawini. Tak jarang, perkawinan berbuah kematian betina.

Fenomena itu terjadi karena berang-berang adalah makhluk polygynous. Satu pejantan punya banyak betina, tetapi satu betina hanya punya satu pejantan.

Karena hal itu, ada pejantan-pejantan yang tersisih. Karena kematian berang-berang yang tergolong tinggi, ada lebih banyak pejantan yang tak punya kesempatan kawin.

Hal itu yang menyebabkan beberapa pejantan sangat agresif saat punya kesempatan kawin. Sementara pejantan lain yang tetap tak punya kesempatan melampiaskannya pada bayi anjing laut.

Editor : Yunanto Wiji Utomo


09.18 | 0 komentar | Read More

Ada \"Missing Link\" antara Simpanse dan Manusia Modern


KOMPAS.com — "Pertanyaan akan asal-usul manusia selalu menjadi debat yang menarik," ujar Herawati Sudoyo, Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta.

Herawati menyampaikan hal itu di hadapan peserta yang hadir dalam seminar Human Evolution and Archaic Admixture, di Lembaga Eijkman, pada Selasa (29/10/2013), untuk menyimak presentasi Richard Edward Green, seorang peneliti asal Department of Biomolecular Engineering, University of California-Santa Cruz, mengenai penemuan terkini dan rencana kolaborasi penelitian lanjutan dengan Lembaga Eijkman.

Bersama 56 peneliti lain dari 21 institusi, ia merunut jejak leluhur manusia modern (Homo sapiens) berdasarkan genetika. Benarkah ada keterkaitan antara manusia modern yang hidup pada masa kini dan manusia prasejarah Homo neanderthalensis?

"Memahami evolusi manusia tak sederhana. Jikalau menilik, melacak balik ke garis keturunan, manusia prasejarah Neandertal merupakan kerabat terdekat kita Homo sapiens," papar Green.

Menurut Green, ada missing link untuk melihat relasi antara simpanse (yang dikatakan kerabat terdekat manusia yang masih eksis hingga sekarang) dan spesies manusia modern. Ini menjadi sulit diterangkan sebab tidak sedikit spesies yang sudah punah. "Tapi, yang secara luas ahli-ahli sepakati, kerabat terdekat manusia—yang telah mengalami kepunahan—adalah Neandertal," kata asisten profesor yang mendalami bidang populasi dan demografi ini.

Karena itu, DNA dari fosil-fosil Neandertal lebih dekat untuk digunakan membantu mereka mengidentifikasi keunikan-keunikan manusia modern ketimbang dari DNA simpanse.

Selama dua dekade terakhir, metode pengambilan DNA purbakala pun telah berkembang maju. Perkembangan ilmu biologi molekuler di bidang teknologi terapan sekuensing DNA sudah bisa makin memudahkan penelitian. Melalui teknologi mutakhir yang disebut direct high-throughput sequencing, didapat data genomik fosil tulang Neandertal.

Ia mengungkapkan, "Kami menganalisis fosil yang ditemukan di Vindija, Kroasia. Dari total 21 tulang Neandertal, hasilnya ada DNA primata walau dalam persentase kecil 3,5 persen, tetapi sebagian besar sampel DNA memang merupakan mikroorganisme, jelas karena terkubur lama dalam goa."

Bukti kedua ialah fosil yang ditemukan di Goa Denisova, Pegunungan Althai, Siberia. Populasi manusia purba "the Denisovans" ini pun menunjukkan percampuran antara manusia modern dan manusia purba Neandertal.

Lebih kontroversial, belulang the Denisovans menunjukkan terdapat bagian DNA yang punya kemiripan dengan DNA yang ditemukan pada populasi manusia di wilayah di sebelah timur garis Wallacea—Filipina, Flores, Maluku, Papua Niugini, Australia, dan Oseania.

"Ini mengejutkan. Kecocokan hanya ditemukan pada orang-orang yang berada di timur garis Wallacea. Juga memancing pertanyaan baru soal kaitannya dengan Homo floresiensis, manusia purba yang ditemukan di Liang Bua, Flores."

Homo neanderthalensis hidup di Eropa dan sebagian kecil kawasan Asia Barat sebelum lenyap 30.000 tahun silam. Ratusan tahun silam diperkirakan nenek moyang Homo sapiens mulai melakukan migrasi, keluar dari Afrika menuju wilayah Eropa dan Asia, bertemu dan berinteraksi hingga mengalami admixture (percampuran) dengan Neandertal.

Pertanyaan besar lainnya adalah kapan manusia berpisah dari Neandertal dan bermigrasi. Rentang waktu penyebaran ini diyakini juga menentukan saat untuk kedua kelompok saling bertukar gen. Tersisa pula pertanyaan apa yang sesungguhnya menyebabkan Neandertal punah—dari sekian banyak teori dan gagasan?

Ed juga menelaah, guna analisis lebih lanjut, lewat membandingkan susunan gen dari ras dari manusia modern non-Afrika dan Afrika. Perbandingan antara populasi di Perancis, suku Han, dan Papua di luar Afrika, serta suku Yoruba dan San di Afrika, memperlihatkan kontribusi genetik Neandertal sekitar 2-4 persen dapat ditemukan pada gen manusia sekarang non-Afrika atau, secara spesifik, orang Eurasia.

"Selain itu juga, bukti percampuran manusia purba disinyalir pada populasi pigmi di Afrika. Berbagai temuan ini menggambarkan betapa kompleksnya evolusi manusia modern, yang melibatkan sejumlah kejadian percampuran dengan manusia purba," ujar Ed.

Tentunya belum berakhir perjalanan melacak jejak moyang manusia modern. Lantas berapa banyak lagi kepingan yang masih belum terkumpul? Peneliti takkan berhenti melacak dan tidak putus-putusnya mencari bukti penguat.

Ed sendiri mengatakan, ia akan melakukan investigasi lebih mendalam tentang apa yang membuat manusia modern unik. "Karena saya berpikir, pada suatu waktu di masa lalu, kita pernah berbagi Bumi dengan spesies hominin lain, yang mungkin berasal dari leluhur yang sama. Bagaimanakah kita saling berinteraksi?" (Gloria Samantha/National Geographic Indonesia)

Editor : Yunanto Wiji Utomo


09.18 | 0 komentar | Read More

2,8 Miliar Tahun Lagi, Matahari Akan \"Telan\" Bumi


KOMPAS.com — Studi teranyar mengungkap bahwa akhir kehidupan di Bumi akan datang sekitar 2,8 miliar tahun dari sekarang.

Saat ini, kondisi suhu berada pada tingkat yang nyaman dan mendukung bagi kehidupan di Bumi. Namun, ini tidak akan berlangsung selamanya. Matahari semakin menua dan lama-kelamaan makin memanas.

Dalam kurun waktu sekitar lima miliar tahun, Matahari akan menguras bahan bakar nuklirnya dan membengkak menjadi "raksasa merah"—sebuah bintang besar, tua, dan menyilaukan—dan mungkin akan menelan planet kita. Jauh sebelum mencapai tahap "raksasa merah", semua bentuk kehidupan di muka Bumi akan hangus.

Lalu, kapankah kehidupan di Bumi akan benar-benar sirna? Tim peneliti yang dipimpin oleh Jack O'Malley James, pakar astrobiologi dari University of St Andrews di Skotlandia, berupaya mencari jawabannya.

Mereka menggunakan parameter seperti suhu, kelimpahan air, dan makanan untuk memeriksa kesehatan masa depan biosfer Bumi. Dengan data itu, mereka dapat memetakan bagaimana awal berakhirnya seluruh kehidupan. Tim ini juga menganalisis apakah keberadaan penanda biologis mungkin terlihat, seperti peradaban asing (alien) yang sedang mencari kehidupan. Studi ini akan diterbitkan dalam International Journal of Astrobiology.

Tanaman musnah lebih dulu

Dengan melakukan ramalan cuaca jangka panjang, tim menyatakan bahwa ketika temperatur di Bumi perlahan-lahan mulai meningkat, lebih banyak uap air yang akan terbentuk. Kondisi ini mengakibatkan pelepasan karbon dioksida secara terus-menerus dari atmosfer.

Tanaman mengandalkan karbon dioksida untuk menghasilkan energi melalui proses fotosintesis sehingga hilangnya karbon dioksida secara berkelanjutan akan menjadi berita buruk bagi dedaunan. Studi ini menjadi petunjuk pertama kematian kehidupan di Bumi, yang diperkirakan terjadi dalam kurun waktu 500 juta tahun mendatang. Ketika itu, spesies tanaman terus berkurang dan akhirnya benar-benar hilang karena terjadi penurunan drastis tingkat karbon dioksida secara global. Hewan-hewan yang mengandalkan tumbuhan sebagai sumber makanannya kemungkinan akan saling memangsa.

"Ketika jumlah tanaman mengalami penurunan, hewan pun akan semakin langka secara simultan dalam kurun waktu miliaran tahun," kata O'Malley James.

Hanya mikroba yang masih bertahan

Sekitar 2,8 miliar tahun dari sekarang, hanya komunitas mikroba yang akan tertinggal untuk mewarisi Bumi. Akan tetapi, kondisi Bumi terus memanas tanpa henti, lautan akan menguap, memicu efek rumah kaca, yang akan mengakibatkan pemanasan planet secara cepat dan berkelanjutan. Pasokan air juga menjadi sangat langka.

"Hanya mikroba yang tangguh yang akan mampu mengatasi hal ini, bahkan sampai mereka tidak bisa lagi bertahan ketika suhu melewati ambang di mana DNA mereka bisa rusak, yaitu sekitar 140 derajat celsius," tambah O'Malley James.

Menelisik potensi kehidupan

Tim berharap temuan ini dapat membantu upaya pencarian kehidupan di luar Bumi, dengan memperluas jumlah tanda-tanda potensi kehidupan yang harus dicari untuk menganalisis atmosfer suatu planet secara lebih rinci. "Mengetahui tanda-tanda kehidupan lain dapat membantu kita dalam mendeteksi kehidupan pada sebuah planet yang mungkin sebelumnya tidak diperhitungkan," kata O'Malley James.

Melihat sisi positif

Studi ini menggambarkan masa depan yang suram bagi planet kita. Namun, O'Malley James dan rekannya berpikir bahwa teori mereka soal rentang waktu kehidupan tergolong konservatif. Masih banyak yang belum diketahui untuk memprediksi apa yang akan terjadi dalam kehidupan di bawah tekanan seperti itu. "Sangat sulit untuk memprediksi apakah evolusi kehidupan dapat mengatasi perubahan lingkungan yang ekstrem pada masa depan," katanya.

Namun, studi ini jelas menunjukkan bahwa kehidupan di Bumi, secara alamiah, cenderung mengalami perubahan. Jika masa lalu bisa dijadikan indikasi, kita dapat mengambil hikmah: Meskipun gejolak lingkungan pernah muncul secara besar-besaran, seperti kepunahan massal, satu hal yang harus kita syukuri adalah hidup belum pernah sepenuhnya padam sejak awal kemunculannya. (Andrew Fazekas/National Geographic Indonesia)

Editor : Yunanto Wiji Utomo


09.18 | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger